Hei Para Demonstran, Pindah Arahkan Moncong Toamu ke Istana
Oleh: Nu’man Iskandar, Ketua Buruh Tani Nelayan (Brutal)
UU Cipta Kerja telah disahkan di DPR. Sebagaimana pengesahan Revisi UU KPK yang justru dipandang melemahkan KPK, pasca disahkan UU Cipta Kerja juga telah memicu protes keras publik. Terjadi aksi protes dimana-mana, berasal dari berbagai elemen. Protes tersebut terjadi karena produk UU baru tersebut dipandang tidak lagi mencerminkan aspirasi publik.
Namun, protes publik tersebut selalu hanya dilayangkan kepada DPR. Publik hanya menyalahkan DPR yang seolah-olah UU tersebut dibuat dan disahkan sendiri oleh DPR tanpa keterlibatan Pemerintah. Padahal, tanpa keterlibatan Pemerintah, sebuah UU tidak akan pernah lahir di DPR.
Ini artinya, UU merupakan sebuah produk yang dihasilkan bersama antara DPR dengan Pemerintah. Usulan UU, bisa dilakukan oleh Pemerintan maupun DPR. Jika salah satu pihak tidak menyetujui, pada tahap usulan pun tidak akan pernah lolos sebagai usulan.
Edukasi masyarakat tentang proses legislasi ini sangat lemah. Imbasnya, masyarakat tahunya hanya DPR an sich yang membuat UU. Oleh karenanya, mereka protes kepada DPR. Protes ke DPR itu tidaklah salah, tapi DPR hanya salah satu pihak saja dalam proses legislasi.
Ada Pemerintah disitu yang juga harus dimintai pertanggungjawaban produk legislasi. Soal UU Cipta Kerja ini, UU ini merupakan usulan Pemerintah. Dengan demikian, draf naskah akademik dan rancangan UUnya tersebut disusun dan dibuat oleh Pemerintah. Siapa yang dimaksud pemerintah? Pada saat pembahasan, Pemerintah yang dimaksud adalah menteri yang ditunjuk mewakili Presiden.
Jika ada Pemerintah terkait lahirnya UU, mengapa protes terkait dengan UU ini hanya di tujukan ke DPR, kenapa tidak kepada Pemerintah juga? Soal ini, DPR hanya ketiban sial saja karena proses pembahasan UU dilakukan di DPR, meski tentu saja pembahasan dilakukan bersama dengan Pemerintah.
*Edukasi Publik Proses Legislasi
Harus ada edukasi yang menyeluruh soal proses legislasi ini, agar publik tidak lagi salah sasaran dalan melakukan protes yang selama ini ditujukan hanya kepada DPR. Padahal jelas bahwa sebuah UU tidak akan lahir tanpa ada keterlibatan Pemerintah. Artinya, protes harus juga ditujukan kepada Pemerintah.
Publik kita masih memandang DPR ini seperti sebelum reformasi dari sisi kewenangan, yang menurutnya semua kewenangan dimonopoli oleh DPR. Dikiranya kekuasaaan dan kewenangan DPR masih sama seperti dahulu. Padahal pasca amandemen UUD 1945 sistem politik dan pemerintahan kita telah jauh berubah.
Sistem pemerintahan kita presidensil karena presiden dipilih secara langsung. Presiden memiliki kewenangan yang sangat luas. Sebaliknya kewenangan DPR menjadi sangat terbatas. Hanya meliputi, legislasi, budgeting dan pengawasan. Khusus kewenangan penganggaran, itupun telah sangat dibatasi oleh putusan MK, tidak bisa membahas sampai satuan tiga (3).
*Partai Politik dan Sistem Politik Pemerintahan
Sistem politik kita menempatkan partai politik sebagai institusi politik diluar pemerintahan maupun legislatif yang sentral. Posisi-posisi strategis dibpemerintahan dan DPR berasal dari partai politik. Partai ini bisa menempatkan kader atau orang-orangnya di DPR dan pemerintahan sekaligus.
Dalam koalisi pemerintahan, umumnya pimpinan partai akan menempati posisi penting dalam pemerintahan. Hanya sebagian saja yang akan menempati di DPR, itupun pasti pada posisi pimpinan tertingginya, pada jabatan ketua atau wakil ketua DPR. Mereka yang berada pada posisi second line partai politik biasanya hanya akan menempati posisi sebagai anggota.
Karena bukan pimpinan partai, mereka yang menjadi anggota DPR tidak mungkin bersuara berbeda dengan ketua partai, mereka ini akan mengikuti arahan dan perintah pimpinan partai. Dengan oligarki kekuasaan yang terjadi, maka tidak mungkin keputusan keputusan yang dihasilkan di DPR ini adalah hasil dari perintah elit partai yang ada dipemerintahan.
Sederhananya, anggota partai politik yang menjadi anggota DPR ini tidak mungkin bisa melakukan kritik terhadap pimpinan partainya yang sekaligus duduk dipemerintahan. Karena telah menjadi oligarki, antara partai juga tahu sama tahu. Partai satu tidak akan menggangu partai lain.
Peribahasa yang tepat untuk menggambarkan ini adalah: Anak buah tidak akan pernah berani menentang perintah bapak buah, apalagi emak buah. Berani menentang, siap-siap saja “the end”.
Jika demikian, sebenarnya kemana toa itu harusnya diarahkan? Apakah tetap hanya ke DPR?
Jika demikian keadaannya, sudah saatnya suara toa diarahkan ke istana. Karena salah satu sumber keruwetan bangsa ini ada di istana. Dan sekarang persiapkan diri, agar toa dan suaramu lebih didengar Istana. Siapkan microfon dan toamu sekarang, tepat arahkan ke Istana. Ya, ke Istana Buckingham, Inggris. Jangan salah…!!!
Salam Brutal
Buruh Tani Nelayan.