9 Februari 2025

Penimbun Minyak Goreng Bisa Terjerat Hukum

Foto: Muh. Haerulla A. Aman (Mahasiswa Magister Hukum Bisnis UNAS)
DI AWAL tahun 2022 melonjak harga minyak goreng di pasaran. Para pelaku pasar, mulai distributor, peritel modern, pelaku pasar tradisional, pedagang eceran, hingga konsumen, terutama pedagang kecil penjual makanan, dihantui harga jual minyak goreng yang tinggi. Mereka menjerit atas kenaikan harga komoditas tersebut.

Sungguh ironis, Indonesia yang merupakan lumbung sawit, sehingga menjadi penghasil terbesar crude palm oil (CPO) di dunia masih dihadapkan pada persoalan kelangkaan minyak goreng.

Hasilnya, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengendus ada indikasi terjadinya praktik kartel di balik lonjakan harga minyak goreng tersebut.

Untuk merespons kenaikan harga minyak goreng, pada awal Januari 2022, pemerintah membuat kebijakan dengan menetapkan kebijakan subsidi minyak goreng.

Namun, kebijakan ini malah membuat stok minyak goreng di pasaran semakin terbatas, bahkan langka. Pemerintah kemudian menerapkan kebijakan domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO) per 1 Februari 2022.

Dalam kebijakan DMO, perusahaan minyak goreng wajib memasok minyak goreng sebesar 20% dari volume ekspor mereka. Kemudian dalam kebijakan DPO, pemerintah menetapkan harga CPO Rp 9.300 per kilogram.

Selanjutnya dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 6 Tahun 2022 tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET) Minyak Goreng Sawit juga dicantumkan HET minyak goreng curah Rp 11.500 per liter, minyak goreng kemasan sederhana Rp 13.500 per liter, dan minyak goreng kemasan premium Rp 14.000 per liter.

Namun, HET tidak bisa sepenuhnya berjalan di lapangan lantaran langkanya minyak goreng.
Kebijakan ini ditempuh lantaran mulanya kenaikan harga minyak goreng sudah terjadi sejak bulan November 2021, dimana harga minyak goreng kemasan bermerek dibanderol Rp24.000 per liter.

Kendati demikian, hingga saat ini justru minyak goreng tetap langka dan sulit ditemukan di pasaran.

faktor yang menyebabkan harga minyak di Indonesia mahal adalah turunnya panen sawit pada semester kedua. Sehingga, suplai CPO menjadi terbatas dan menyebabkan gangguan pada rantai distribusi (supply chain) industri minyak goreng.

Penyebab lain yang menyebabkan naiknya harga minyak goreng yakni adanya kenaikan permintaan CPO untuk pemenuhan industri biodiesel seiring dengan penerapan kebijakan B30. Faktor lainnya, yaitu gangguan logistik selama pandemi Covid-19, seperti berkurangnya jumlah kontainer dan kapal.

Apakah penyebab pasti kelangkaan tersebut? Akankah kelangkaan ini dipicu oleh adanya penimbunan minyak goreng yang dilakukan sejumlah oknum.?

Disinyalir adanya kemungkinan penimbunan yang dilakukan oleh oknum tertentu, seperti yang terjadi di provinsi Sulawesi Tengah beberapa pekan terakhir, bahwa pemerintah kabupaten/kota dan telah menemukan langsung dilapangan bahwa terjadi beberapa penimbunan minyak goreng yang terjadi.

Minyak goreng yang ditimbun dalam jumlah banyak tersebut memang sengaja tidak didistribusikan ke pasaran. Kiranya Tidak pantas mengambil keuntungan di tengah situasi ekonomi yg sulit dan pandemi covid-19 belum usai. Apalagi, minyak goreng adalah salah satu bahan kebutuhan pokok.

Seharusnya para pelaku usaha yang terbukti menimbun minyak goreng bisa dikenakan ancaman penjara dan denda sesuai dengan aturan yang berlaku. Sebagai mana tertuang dalam Pasal 107 Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan dan Peraturan Presiden Nomor 71 tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting.

Pelaku usaha yang melakukan penimbunan dapat disangkakan Pasal 107 jo Pasal 29 ayat 1 UU Nomor 7 tahun 2014 tentang Perdagangan jo Pasal 11 ayat 2 Perpres 71 tahun 2015,”
Adapun Pasal 107 menuliskan pelaku usaha yang menyimpan barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas Perdagangan Barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).

Sehingga yang menjadi masalah utama ekonomi adalah bukan kelangkaan namun tidak meratanya distribusi sumber daya kepada seluruh manusia atau dalam konteks ini yaitu, tidak meratanya distribusi minyak goreng mulai dari level produsen hingga konsumen.

Seharusnya Proses distribusi inilah yang menjadi tanggung jawab negara dalam memenuhi kebutuhan primer masyarakat dengan memprioritaskan kebijakan yang mengarah pada pemenuhan domestik terlebih dahulu. Dan para pelaku penimbun minyak goreng, harus mendapatkan sanksi yang berdampak pada efek jera. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!