Ini Pertimbangan KPU pada Pelaksanaan Program DP3
Bangkeppos.com, SALAKAN- Ketua KPU Provinsi Sulteng, Dr. Sahran Raden, menjelaskan beberapa tantangan mendasar dilakukannya program Desa Peduli Pemilu dan Pemilihan (DP3).
Beberapa pertimbangan itu yakni, dengan melihat pada tingkat partisipasi pemilih yang sangat dinamis dalam momentum kontestasi pemilu dan pemilihan.
“Di Sulteng sendiri terjadi dinamika yang luar biasa dengan tingkat partisipasi pemilih sejak pemilu 2014,” jelasnya, Sabtu (28/5/2022) kemarin.
Menurutnya, tingkat partisipasi di tahun itu untuk pemilihan anggota DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota hanya mencapai 74 persen. Sedangkan, pada pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tahun 2014 mencapai sebesar 78 persen.
“Karena waktu itu pelaksanaan pemilu legislatif dan eksekutif dilakukan secara terpisah tiga bulan setelah pemilu DPR, lalu menyusul pemilu eksekutif. Jadi, pada pemilu 2014 ada kenaikan partisipasi pemilih mencapai empat digit dari pemilu legislatif ke pemilu Presiden,” bebernya.
Dia melanjutkan, setelah masuk pilkada 2015, yang merupakan pilkada gelombang pertama secara serentak, tingkat pertisipasi pemilih di Sulteng ketika itu hanya mencapai 69,80 persen.
“Itu sangat turun drastis dibanding dengan pelaksanaan pilkada 2015. Tetapi, dari 9 Provinsi di Indonesia yang melaksanakan pemilhan Gubernur saat itu, Provinsi Sulteng yang paling tertinggi dibanding provinsi-provinsi yang lainnya,” ungkapnya.
Sementara, lanjut Sahran, di pilkada 2017 Bangkep juga ikut menggelar hajatan demokrasi itu. Dan tingkat partisipasinya mencapai 77 persen, bersamaan dengan kabupaten Buol Provinsi Sulteng waktu itu.
“Selanjutnya, pada pilkada 2018 naik mencapai 80 persen. Di pemilu 2019 dinamikanya setara dengan dengan pemilu 2014. Di tahun 2019 itu juga, Sulteng naik mencapai 83 persen,” paparnya.
Lalu, pada pilgub 2020, tingkat partisipasi pemilih di Sulteng turun dan hanya mencapai 74 persen. Tidak mencapai target rata-rata. Termasuk kabupaten Bangkep sendiri tidak mencapai rata-rata nasional.
“Sehingga atas dasar itu, KPU menggagas program DP3. Dengan tujuan agar bisa meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses pemilu dan pemilihan,” paparnya lagi.
Alasan mendasar lainnya pembentukan program DP3 ini ialah banyaknya tantangan dalam proses pelaksanaan pemilu. Salah satu misalnya, soal ujaran kebencian atau berita hoax, yang itu terbilang sangat masif dilakukan oleh peserta pemilu.
“Dan bahkan oleh tim kampanye atau masyarakat yang mencoba membenturkan satu kelompok dengaan kelompok yang lain.
Sehingga itu juga yang mengakibatkan terjadinya benturan antara demokrasi dan masyarakat pemilih,” ungkapnya.
Maka dengan kehadiran program DP3 ini, diharapkannya bisa membendung adanya berita hoax dimaksud. Sebab itu bisa berdampak pada ancaman pelaksanaan pemilu di desa.
“Karena sasaran utama berita hoax itu adalah sebagian besar para pemilih yang ada di pelosok desa. Bahkan, hampir 80 persen hoax itu berkembang melalui desa. Dan itu tidak saja hanya lewat internet, tetapi bisa saja lewat kampanye, atau dari mulut ke mulut, dan bahkan bisa dari tim dan lain sebagainya,” ujarnya.
Tantangan berikutnya adalah penggunaan politik identitas. Dalam konteks ini, penggunaan politik identitas bisa saja akan mengarah pada ancaman disintegrasi bagi masyarakat yang ada di satu daerah pemiIihan.
“Misalnya pada saat kampanye dan membawa politisasi suku, agama, ras dan antar golongan untuk menguasai kemenangan di satu daerah pemilihan. Tentu itu bukan hanya tugas KPU, tapi juga masyarakat dan civil society, bagaimana bisa bersama-sama membendung hal itu. Agar proses penyelenggaraan pemilu lahir berdasarkan asas demokratis,” jelasnya.
Selanjutnya, tantangan yang terakhir yakni, maraknya politik uang (money politic). Maraknya politik uang sudah menjadi budaya dimasyarakat.
“Dan itu bisa menjadi ancaman bagi pemerintahan daerah yang terpilih ke depan. Terbukti, setelah pilkada, tidak sedikit kepala daerah ditangkap atau tersandung kasus hukum di KPK. Itu juga merupakan salah satu buah dari hasil politik uang,” ujarnya.
Bahkan, dalam Undang Undang Pemilu, lanjutnya, politik uang adalah bagian dari tindak kejahatan pemilu. Dan jika itu terus membudaya, maka tentu akan menjadi ancaman bagi politik yang bersih, adil dan demokratis.
“Oleh karena itu, saya meminta agar KPU Bangkep terus mensosialisasikan dan juga mengedukasi masyarakat tentang literasi kepemiluan,” tutupnya. (ir)