Mengulik Kasus Pelecehan Seksual di Desa Tolo, Banggai Kepulauan
Bagaimana tidak, anak yang merupakan generasi penerus bangsa dirusak masa-masa pertumbuhannya.
Selain itu, masyarakat juga menjadi resah dan khawatir akan keamanan yang ada di lingkungan sekitar anak-anak mereka.
Hal ini menunjukan bahwa anak-anak belum mendapat perlindungan atas keamanan dalam kehidupannya sehari-hari.
Berkaitan dengan kasus pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur, dalam hal tindakan pencabulan yang terjadi, seperti kasus di desa Tolo ini, diatur dalam Pasal 292 KUHP yang berbunyi:
“Orang yang cukup umur, yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sama kelamin, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa belum cukup umur, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun”.
Secara khusus, Indonesia memiliki undang-undang tersendiri mengenai perlindungan terhadap anak, yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Perlindungan Anak.
Dalam Pasal 81 dan 82 Undang-Undang tentang Perlindungan Anak ini diatur bahwa pelaku pelecehan seksual terhadap anak dipidana penjara maksimal 15 tahun.
Lima belas tahun pidana penjara bagi penulis, tidaklah sebanding dengan apa yang dialami oleh korban. Mengingat, kejadian ini dapat membawa pengaruh yang sangat besar bagi si korban, dimulai dari gangguan fisik hingga gangguan psikologis yang akan dideritanya seumur hidup.
Pendapat dokter didukung dengan hasil penelitian menyebutkan, bahwa pelecehan seksual terhadap anak akan mengganggu proses tumbuh dan berkembangnya anak tersebut.
Dampak buruk psikologis yang dapat dideritanya antara lain depresi, trauma pasca kejadian, dan paranoid akan hal-hal tertentu seperti pergi ke kamar mandi atau bertemu orang-orang.
Selebihnya, hal ini bisa menurunkan performa belajar, depresi, dan rendah diri. Apabila trauma psikis ini tidak ditangani dengan baik, maka dapat menyebabkan tiga kemungkinan efek jangka panjang.
Pertama, korban bisa saja memandang hal ini sebagai sebuah keterlanjuran, yang akhirnya mendorongnya terjun ke dalam pergaulan bebas.
Kedua, mendorong korban melakukan suatu pembalasan dendam dan menumbuhkan perilaku menyimpang didalam dirinya. Dan di masa mendatang ia bisa saja menjadi seorang homoseksual.
Ketiga, hal yang lebih parah adalah pembalasan dendam yang dilakukan di masa mendatang yang dilakukan oleh korban dengan melakukan hal yang sama kepada orang lain atau singkatnya, kelak ia menjadi seorang pedofil.
Namun, menurut penelitian beberapa pelaku pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur, ternyata pernah mengalami hal serupa ketika masih kanak-kanak.
Karena kasus dugaan pelecehan seksual di bawah umur ini merupakan delik biasa. Sehingga, meskipun tanpa korban sendiri yang melapor, penanganannya pun tetap harus diproses lebih lanjut.
Pertanyaannya; apakah “pantas” pelaku kejahatan kekerasan seksual diberlakukan penyelesaian dengan pendekatan “keadilan restoratif”.
Sementara, disatu sisi, UU Perlindungan Anak ingin memberikan perlindungan yang maksimal kepada anak yang menjadi korban, terutama korban kekerasan seksual dengan hukuman yang seberat-beratnya.
Diketahui, kasus pelecehan seksual adalah perbuatan seseorang yang melecehkan seorang anak; baik dia anak perempuan maupun anak laki-laki, baik dengan cara memeluknya, menciumnya, memegang anggota tubuhnya yang dianggap tabu.
Maka bagi pelaku pelecehan seksual tersebut, diancam dengan pidana penjara minimal 5 (lima) tahun dan maksimal 15 tahun (lima belas) tahun.
Karena itu, diminta pihak Polres Bangkep menyeriusi kasus ini, agar menjadi pembelajaran bagi para pelaku lainnya di kemudian hari.
BERSAMBUNG…..!